PENALARAN
Penalaran
Penalaran
(reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir yang berusaha
menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju
kepada suatu kesimpulan. Bila kita bandingkan argumentasi dengan sebuah
bangunan, maka fakta, evidensi, dan sebagainya dapat disamakan dengan batu
bata, batu kali, semen, dsb. Sedangkan proses penalaran itu sendiri dapat
disamakan dengan bagan atau arsitektur untuk membangun gedung tersebut.
Penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang
logis.
Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi dapat juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat semacam ini, dalam hubungan dengan proses berpikir tadi disebut proposisi. Proposisi dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya. Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat bahan-bahan atau fakta-fakta untuk membuktikannya. Sebaliknya sebuah pernyataan atau proposisi dapat disangkal atau ditolak bila terdapat fakta-fakta yang menentangnya.
Proposisi selalu berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah
proposisi. Hanya kalimat deklaratif yang dapat mengandung proposisi, karena
hanya kaliamat semacam itulah yang dapat dibuktikan atau disangkal
kebenarannya. Kalimat-kalimat tanya, perintah, harapan, dan keinginan
(desideratif) tidak pernah mengandung proposisi.
I. Argumentasi
Menurut
Buku ‘Argumentasi dan Narasi’ karya Gorys Keraf, Argumentasi adalah suatu
bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain,
agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh penulis atau pembicara. Melalui argumentasi penulis berusaha
merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga ia mampu menunjukkan apakah
suatu pendapat atau suatu hal tertentu itu benar atau tidak.
misalnya
topik ‘perguruan tinggi’. Melalui argumentasi, penulis menyatakan pendiriannya
agar diadakan perubahan dan perbaikan, atau bagaimana seharusnya kebijaksanaan
pendidikan di perguruan tinggi. Agar para pembaca dapat diyakinkan mengenai
maksudnya itu, penulis harus mengemukakan pula bukti-bukti untuk memperkuat pendirian
atau pendapatnya itu.
Dasar
sebuah tulisan yang bersifat argumentatif adalah berpikir kritis dan logis.
Untuk itu, penulis harus bertolak dari fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang
ada. Disamping memerlukan penjelasan, argumentasi memerlukan juga keyakinan
dengan perantaraan fakta-fakta itu. Oleh sebab itu, penulis harus meneliti
apakah semua fakta yang akan dipergunakan itu benar, dan harus meneliti pula
bagaimana relevansi kualitasnya dengan maksudnya.
Pada
hakikatnya, evidensi adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua
informasi, atau autoritas, dan sebagainya yang dihubung-hubungkan untuk
membuktikan suatu kebenaran. Dalam argumentasi, seorang penulis boleh
mengandalkan argumentasinya pada pernyataan saja, bila ia menganggap pembaca sudah
mengetahui fakta-faktanya, serta memahami sepenuhnya kesimpulan-kesimpulan yang
diturunkan daripadanya. Evidensi itu berbentuk data atau informasi, yaitu bahan
keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu, biasanya berupa
statistik, dan keterangan-keterangan yang dikumpulkan atau diberikan oleh
orang-orang kepada seseorang, semuanya dimasukkan dalam pengertian data (apa
yang diberikan) dan informasi (bahan keterangan).
Penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai
suatu kesimpulan yang logis. Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan
mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi dapat juga
dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam
kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan.
Sebagai contoh:
Semua manusia akan mati pada suatu waktu.
Beberapa orang Indonesia memiliki kekayaan yang
berlimpah-limpah.
Kota Bandung hancur dalam Perang Dunia Kedua karena bom
atom.
Semua gajah telah punah tahun 1980.
Keempat
kalimat tersebut merupakan proposisi; kedua kalimat yang pertama dapat
dibuktikan kebenarannya, dan kedua kalimat terakhir ditolak karena fakta-fakta
yang ada menentang kebenarannya. Namun, keempat kalimat tersebut tetap
merupakan proposisi.
Proposisi
selalu berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya
kalimat deklaratif yang dapat mengandung proposisi, karena hanya kalimat
semacam itulah yang dapat dibuktikan atau disangkal kebenarannya.
Kalimat-kalimat tanya, perintah, harapan, dan keinginan (desideratif) tidak
pernah mengandung proposisi.
Inferensi berasal dari kata Latin inferre yang
berarti menarik kesimpulan. Implikasi juga berasal dari bahasa Latin yaitu dari
kata implicareyang berarti melibat atau merangkum. Dalam logika,
juga dalam bidang ilmiah lainnya, inferensi adalah kesimpulan yang diturunkan
dari apa yang ada atau dari fakta-fakta yang ada. Sedangkan implikasi adalah
rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau
evidensi itu sendiri.
Untuk
membuktikan suatu kebenaran, argumentasi mempergunakan prinsip-prinsip logika
sebagai telah dikemukakan diatas. Logika merupakan suatu cabang ilmu yang
berusaha menurunkan kesimpulan-kesimpulan melalui kaidah-kaidah formal yang
absah (valid).
Istilah
benar dan salah pertama-tama dipergunakan dalam argumentasi. Sebaliknya, untuk
logika dipergunakan istilah absah (valid) dan tak absah (invalid). Bila semua
bentuk formal yang diperlukan untuk menurunkan suatu kesimpulan dipenuhi, maka
silogisme dinyatakan absah. Bila silogisme itu absah, maka dengan sendirinya
kesimpulan yang diperoleh juga bersifat absah. Dalam argumentasi, yang
dijadikan persoalan adalah apakah semua proposisi bersama konklusinya itu benar
atau tidak. Sebagai contoh:
Premis Mayor : Semua mahasiswa adalah pejuang.
Premis Minor : Ali adalah seorang mahasiswa.
Konklusi :
Sebab itu, Ali adalah seorang pejuang.
Dari
segi formal, silogisme diatas bersifat absah. Namun sebagai argumen, silogisme
itu tidak meyakinkan, karena proposi mayornya salah atau diragukan kebenarannya.
Akan tetapi, jika kita menerima proposisi mayornya, maka kesimpulannya bersifat
absah. Oleh sebab itu, penulis harus yakin bahwa semua premis mengandung
kebenaran, sehingga ia dapat mempengaruhi sikap pembaca. Untuk membuktikan
sesuatu, silogisme bukan saja harus mengandung sebuah struktur yang absah
tetapi proposisinya juga harus mengandung pernyataan-pernyataan yang benar
mengenai dunia kita ini. Logika memusatkan perhatiannya pada proses berpikir,
sedangkan retorika memusatkan perhatiannya pada isi, pada kebenaran yang nyata
yang ada di alam.
Dasar yang harus diperhatikan
sebagai titik tolak argumentasi adalah:
1. Penulis
harus mengetahui serba sedikit tentang subyek yang akan dikemukakannya,
sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip ilmiahnya. Dengan demikian, penulis
dapat memperdalam masalah dengan penelitian, observasi, dan autoritas untuk
memperkuat data dan informasi yang telah diperolehnya.
2. Penulis
harus bersedia mempertimbangkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang
bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah
diantara fakta-fakta yang diajukan lawan ada yang dapat dipergunakannya,
sehingga justru akan memperlemah pendapat lawan.
3. Penulis
harus berusaha untuk mengemukakan pokok persoalannya dengan jelas, harus
menjelaskan mengapa ia harus memilih topik tersebut. Sementara itu pula, ia
harus mengemukakan konsep-konsep dan istilah-istilah yang tepat.
4. Penulis
harus menyelidiki persyaratan mana yang masih diperlukan bagi tujuan-tujuan
lain yang tercakup dalam persoalan yang dibahas, dan sampai dimana kebenaran
dari pernyataan yang telah dirumuskannya itu.
5. Dari
semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam persoalan itu, maksud mana yang
lebih memuaskan penulis untuk menyampaikan masalahnya.
Untuk
membatasi persoalan dan menetapkan titik ketidaksesuaian, maka sasaran yang
harus ditetapkan untuk diamankan oleh setiap penulis argumentasi adalah:
1. Argumentasi
harus mengandung kebenaran untuk mengubah sikap dan keyakinan orang mengenai
topik yang akan diargumentasikan
2. Penulis
harus berusaha untuk menghindari setiap istilah yang dapat menimbulkan
prasangka tertentu.
3. Sering
timbul ketidaksepakatan dalam istilah-istilah. Sedangkan tujuan argumenasi
adalah menghilangkan ketidaksepakatan.
4. Pengarang
harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan
diargumentasikan.
Langkah-langkah penulis sebelum
mengemukakan argument, diantaranya:
1. Proses
pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan.
2. Rencana
penyusunan yang baik atau terarah.
Argumentasi harus terdiri dari, pendahuluan adalah
tidak lain dari pada menarik perhatian pembaca, memusatkan perhatian pembaca
kepada argumen-argumen yang akan disampaikan, serta menunjukkan dasar-dasar
mengapa argumentasi itu harus dikemukakan dalam kesempatan tersebut. Karena
sebuah argumentasi harus memancarkan kebenaran atau sebuah tenaga yang kuat
untuk mempengaruhi sikap pembaca, maka tidak boleh ada hal-hal yang
kontroversial dimasukkan ke dalam pendahuluan. Penulis harus berusaha untuk
menyegarkan kembali ingatan pembaca tentang latar belakang dan seluk-beluknya
sebelum memasuki argumentasi itu sendiri. Untuk menetapkan apa dan berapa
banyak bahan yang diperlukan dalam bagian pendahuluan, maka penulis
mempertimbangkan beberapa segi, yaitu
1.
Penulis harus menegaskan mengapa persoalan itu dibicarakan pada saat ini.
Bila dianggap waktunya tepat untuk mengemukakan persoalan itu, serta dapat
dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang mendapat perhatian saat
ini, maka fakta-faktanya merupakan suatu titik tolak yang sangat baik.
2.
Penulis harus menjelaskan latar belakang historis yang mempunyai hubungan
langsung dengan persoalan yang akan diargumentasikan, sehingga dengan demikian
pembaca dapat memperoleh pengertian dasar mengenai hal tersebut.
3.
Pendahuluan harus harus jelas dibedakan persoalan-persoalan yang
menyangkut selera dan persoalan-persoalan yang membawa ke konklusi yang
obyektif.
Tubuh argumen,
pengarang harus terus-menerus menempatkan dirinya di pihak pembaca, misalnya
dengan menanyakan: apakah evidensi itu dapat diterima bila ia berada di tempat
pembaca, apakah evidensi itu sungguh-sungguh mempunyai pertalian dengan pokok persoalan,
apakah tidak ada cara lain yang lebih baik, dan sebagainya. Perlu ditegaskan,
pengungkapan evidensi itu harus merupakan suatu proses yang selektif, dengan
menampilkan bahan-bahan yang terbaik saja serta menolak evidensi-evidensi yang
kurang baik.
Kesimpulan dan ringkasan.
Dengan tidak mempersoalkan topik mana yang dikemukakan dalam argumentasi,
penulis harus menjaga agar konklusi yang disimpulkannya tetap memelihara
tujuan, dan menyegarkan kembali ingatan pembaca tentang apa yang telah dicapai,
dan kenapa konklusi-konklusi itu diterima sebagai sesuatu yang logis. Dalam
tulisan-tulisan biasa, dimana tidak boleh dibuat kesimpulan-kesimpulan, maka
dapat dibuat ringkasan dari pokok-pokok yang penting sesuai dengan urutan
argumen-argumen dalam tubuh karangan itu.
II. Deskripsi
Deskripsi
merupakan pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat,
suasana, atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya,
melalui tulisannya, dapat ‘melihat’ apa yang dilihatnya, dapat ‘mendengar’ apa
yang didengarnya, ‘mencium bau’ yang diciumnya, ‘mencicipi’ apa yang
dimakannya, ‘merasakan’ apa yang dirasakannya, serta sampai pada ‘kesimpulan’
yang sama dengannya.
Jika
dituliskan dengan baik,artinya jika penulisnya mempunyai pengamatan yang tajam
dengan semua alat-alat inderanya, kemudian menuliskannya dengan kata-kata yang
tepat, deskripsi ini dapat merupakan tulang punggung penulisan yang ‘hidup’ dan
‘menawan’.
Ada
berbagai cara menuliskan deskripsi, dan perbedaan-perbedaan ini timbul karena
pada dasarnya tidak ada dua orang manusia yang mempunyai pengamatan yang sama,
dan lagi pula tujuan pengamatan itu pun berbeda-beda pula. Bentuk deskripsi ada
dua macam, yaitu:
1. Deskripsi Ekspositori
Deskripsi
ekspositori adalah yang sangat logis, yang isinya biasanya merupakan daftar
rincian, semuanya, atau yang menurut penulisnya hal yang penting-penting saja,
yang disusun menurut system dan urutan-urutan logis obyek yang diamati itu.
Sebagai contoh, mendeskripsikan rangkaian kereta api, maka urutan-urutan
logisnya agaknya pastilah dari depan, lokomotifnya, ke belakang,
gerbong-gerbong yang mengekori lokomotif tadi.
2. Deskripsi Impresionistis
Deskripsi
impresionistis atau deskripsi stimulatif, adalah untuk menggambarkan impresi
penulisnya, atau untuk menstimulir pembacanya. Bentuk deskripsi ini lebih
menekankan impresi atau kesan penulisnya ketika melakukan observasi atau ketika
menuliskan impresi tersebut. Urutan-urutan yang dipakai dalam deskripsi
impresionis adalah menurut kuat-lemahnya kesan penulis terhadap bagian-bagian
obyek itu. Misalnya, seseorang yang mendiskripsikan kamar asrama tempat
temannya tinggal, dan bermaksud menonjolkan kejorokan yang dilihatnya di sana,
agaknya akan mulai dengan bau yang diciuminya. Ini adalah yang paling alamiah,
rangsangan bau jauh lebih besar pengaruhnya terhadap manusia dibandingkan
dengan rangsangan penglihatan atau pendengaran.
III. Narasi
Narasi
bisa berisi fakta, bisa pula fiksi atau rekaan, yang direka-reka atau
dikhayalkan oleh pengarangnya saja. Yang berisi fakta adalah biografi (riwayat
hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya
sendiri), kisah-kisah sejati seperti “Pengalaman yang Tidak Terlupakan”, “Kisah
Sejati”, dan lainnya yang banyak ditemukan di dalam media massa. Yang berisi
rekaan atau fiksi adalah novel, cerita pendek, cerita bersambung, dan cerita
bergambar.
Di
dalam sebuah narasi, bisa terdapat sebuah alur saja, bisa pula lebih. Bisa pula
terdapat sebuah alur utama dan beberapa buah alur tambahan atau sub-plot.
Narasi yang tidak sempurna merupakan narasi yang tanpa konflik. Namun dalam
kisah perjalanan, tekanan biasanya diberikan pada deskripsi atau penggambaran
segala sesuatu yang diamati selama perjalanan itu, atau eksposisi yang
menyingkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui oleh orang, atau menjawab
pertanyaan ‘Mengapa?’ dan ‘Bagaimana?’
Alur
itu memiliki latar waktu dan latar tempat. Untuk mempertajam suatu kejadian,
maka diperlukan beberapa latar lainnya seperti latar sosial, latar budaya,
latar ekonomi, latar politik pemerintahan, dan berbagai latar lainnya. Warna
lokal yang tajam menggambarkan bukan saja waktu dan tempat terjadinya
peristiwa, tetapi juga sosial budaya serta semua hal-hal yang dibicarakan,
sehingga cerita yang sama tidak bisa terjadi di tempat lain atau pada waktu
yang lain.
Dalam Bahasa Inggris, istilah Point of View,
dalam kaitannya dengan narasi, bukan saja berarti ‘sudut pandang’, tetapi lebih
dalam dari itu, karena menyangkut struktur dramatikal sebuah narasi. Ini
menyangkut siapa yang ‘bercerita’ di dalam narasi itu, dan ini sangat
mempengaruhi struktur cerita. Oleh karena itu, Point of View di
dalam buku Menulis Secara Populer, diterjemahkan dengan ‘posisi narator’.
Dalam
sebuah narasi tentulah ada yang bercerita, yang menceritakan kepada pembaca apa
saja yang terjadi. Pada satu ujung kita melihat ada cerita yang memakai ‘aku’
atau ‘saya’ sebagai tokoh utama dalam cerita itu. Dengan sendirinya apa yang
kita dapatkan dari cerita itu adalah apa-apa yang dilihat, didengar, serta
dialami oleh ‘aku’ itu. Narasi seperti itu sering disebut sebagai narasi dengan
posisi ‘orang pertama’ atau ‘Aku-an’.
Pada ujung lain kita temukan cerita yang naratornya tidak
kelihatan, tetapi dia mengetahui semua peristiwa, semua perasaan, dan pikiran
semua tokoh di dalam cerita tersebut. Cerita seperti ini selalu memakai bentuk
orang ketiga, yaitu ‘dia’. Posisi narator disini adalah seperti yang
serba tahu, yang omniscient, istilah inggrisnya. dan narasi seperti
ini sering disebut sebagai narasi ‘Dia-an’.
Berdasarkan pada buku yang berjudul ‘Argumentasi dan Narasi’
karya Gorys Keraf, pengertian narasi mencakup dua unsur dasar yaitu perbuatanatau tindakan yang
terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Apa yang telah terjadi
tidak lain dari pada tindak-tanduk yang dilakukan oleh orang-orang atau
tokoh-tokoh dalam suatu rangkaian waktu. Narasi mengisahkan suatu kehidupan
yang dinamis dalam suatu rangkaian waktu.
Narasi
dibatasi sebagai suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk
yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu
kesatuan waktu. Atau dapat juga, narasi adalah suatu bentuk wacana yang
berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa
yang telah terjadi. Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi
kepada para pembaca, agar pengetahuannya bertambaha luas, yaitu
narasi ekspositoris.
Disamping itu juga ada narasi yang disusun dan disajikan sekian macam, sehingga
mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah
makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya, narasi semacam
ini disebutnarasi sugestif.
1. Narasi Ekspositoris
Narasi
ekspositoris bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui
apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan
pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut.
Narasi
ekspositoris yang bersifat generalisasi adalah narasi yang menyampaikan suatu
proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan
secara berulang-ulang. Misalnya suatu wacana naratif yang menceritakan bagaiman
seorang menyiapkan nasi goreng, bagaimana membangun sebuah kapal dengan
mempergunakan bahan fero-semen, dan sebagainya.
Narasi
yang bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa
yang khas, yang hanya terjadi satu kali dan yang tidak dapat diulang kembali,
karena merupakan kejadian pada suatu waktu tertentu saja. Misalnya narasi
mengenai pengalaman seseorang yang pertama kali masuk sebuah perguruan tinggi,
pengalaman seorang pertama kali mengarungi samudera luas, pengalaman seorang
gadis yang pertama kali menerima curahan kasih dari seorang pria idamannya.
2. Narasi Sugestif
Narasi
sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam
sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca menarik suatu makna baru
di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit, yaitu sesuatu yang tersurat
mengenai obyek atau subyek yang bergerak dan bertindak, sedangkan makna yang
baru adalah sesuatu yang tersirat.
Perbedaan
pokok antara narasi ekspositoris dan narasi sugestif adalah:
Narasi
Ekspositoris
|
Narasi
Sugestif
|
1. Memperluas
pengetahuan.
|
1. Menyampaikan
suatu makna atau suatu amanat yang tersirat.
|
2. Menyampaikan
informasi mengenai suatu kejadian.
|
2. Menimbulkan
daya khayal.
|
3. Didasarkan
pada penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional.
|
3. Penalaran
hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga jika perlu
penalaran dapat dilanggar.
|
4. Bahasanya
lebih condong ke bahasa informatif dengan titik berat pada penggunaan
kata-kata denotative.
|
4. Bahasanya
lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan penggunaan kata-kata
konotatif.
|
IV. Eksposisi
Eksposisi itu adalah menyingkapkan. Sesuatu yang
disingkapkan itu adalah sesuatu yang selama ini tertutup, terlindungi, atau
tersembunyi, yaitu buah pikiran atau ide, perasaan atatu pendapat penulisnya,
untuk diketahui orang lain. Di dalam eksposisi, sesuatu yang akan diungkapkan
ini disebut thesis. (Ini kira-kira sama dengan apa yang disebut dengan ‘tema’
ketika kita membicarakan narasi). Jika kita ‘gambarkan’ ragangan, kerangka,
atau yang biasa disebut di dalam Bahasa Inggris outline, eksposisi
itu adalah:
a. Tesis
b. 1.
Kelas I (pembuktian pertama)
2.
Kelas II (pembuktian kedua)
3.
Kelas III (pembuktian ketiga)
4.
dst. (Kelas/pembuktian berikutnya)
c. Kesimpulan
a. Tesis
Tesis
adalah inti sebuah eksposisi. Misalkan, kita ingin menyingkapkan buah pikiran
kita, misalnya bahwa ‘seharusnya merokok dilarang di negeri ini. Dengan
sendirinya, itulah tesis. Tesis ini dapat diungkapkan dalam sebuah kalimat yang
utuh: “… seharusnya merokok dilarang di Indonesia”. Namun, tesis ini dapat pula
hanya disiratkan dengan berbagai cara di dalam sebuah paragraf, sehingga tidak
diungkapkan dalam sebuah kalimat atau penggal kalimat.
b. Kelas-kelas
Uraian
yang mendukung atau membuktikan kebenaran tesis ini disebut kelas-kelas. Di
dalam sebuah eksposisi yang baik biasanya ada beerapa kelas. Jika penulisnya
ingin mengajukan tiga pembuktian, yaitu tiga argumentasi untuk mendukung
tesisnya, maka dikatakan bahwa eksposisi itu mempunyai tiga kelas. Masing-masing
kelas biasanya dituangkan ke dalam sebuah paragraf yang terpisah. Dengan
demikian, maka ada eksposisi dengan empat kelas, lima kelas, dan seterusnya.
PROPOSISI
adalah “pernyataan
dalam bentuk kalimat yang memiliki arti penuh, serta mempunyai nilai benar atau
salah, dan tidak boleh kedua-duanya”.
Maksud kedua-duanya ini
adalah dalam suatu kalimat proposisi standar tidak boleh mengandung 2
pernyataan benar dan salah sekaligus.
Rumus ketentuannya :
Q + S
+ K + P
Keterangan :
Q : Pembilang / Jumlah
(ex: sebuah, sesuatu,
beberapa, semua, sebagian, salah satu, bilangan satu s.d. tak terhingga)
Q boleh tidak ditulis,
jika S (subjek) merupakan nama dan subjek yang pembilang nya sudah jelas berapa
jumlahnya :
a. Nama (Pram, Endah,
Ken, Missell, dll)
b. Singkatan (PBB, IMF,
NATO, RCTI, ITC, NASA, dll)
c. Institusi (DPRD,
Presiden RI, Menteri Keuangan RI, Trans TV, Bank Mega, Alfamart, Sampurna,
Garuda Airways, dll)
S : Subjek adalah
sebuah kata atau rangkaian beberapa kata untuk diterangkan atau kalimat yang
dapat berdiri sendiri (tidak menggantung).
K : Kopula, ada 5 macam
: Adalah, ialah, yaitu, itu, merupakan.
P : Kata benda (tidak
boleh kata sifat, kata keterangan, kata kerja).
Contoh :
1. Gedung MPR terletak
500 meter dari jembatan Semanggi.
Jawaban :
1. Cari P (kata
bendanya dulu) : Gedung MPR atau Jembatan Semanggi,
2. Pasang K (kopula)
yang cocok : adalah
3. Bentuk S (subjek)
yang relevan : (lihat contoh)
4. Cari bentuk Q – nya
yang sesuai.
Benar :
Sebuah + gedung yang
terletak 500 meter dari jembatan Semanggi + adalah + gedung MPR.
Salah
500 meter + dari
jembatan Semanggi + adalah + gedung MPR.
FITRIA PRATIWI
12110849
3 KA 21
Sumber :
Keraf Gorys, Argumentasi dan Narasi. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia, 1989.
Keraf Gorys, Deskripsi dan Eksposisi. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia, 1989
.
1 komentar:
terimakasih sudah berbagi yah kak
mazda 2
Posting Komentar