Si Angkri Jagoan Pasar Ikan
Angkri melotot sambil berkata, “Kalian belum tahu juga siapa yang berdada besar ini?”
“Tahu, Bang. Tahu betul,” jawab Madun cepat. “Sudah lama tahu, Bang,” Bai ikut menjawab. “Dibacok tidak mempan, nih!” kata Angkri dengan sombong.
Tiba-tiba dia membuat kaget dua pengikutnya itu dengan memegang kerah baju mereka, “Jadi kenapa kamu semua tidak menuruti omongan saya?”
“Ampun, Bang!”
“Kalau begitu,” kata Angkri kemudian, “kerjakan perintah saya!”
Bai dan Madun segera pergi.
Angkri adalah pemimpin Bai dan Madun. Mereka selalu berpakaian serba- hitam, berikat kepala, dan lengan bergelang akar bahar. Di jari-jari mereka bertengger beberapa cincin batu akik yang besar. Di pinggang mereka selalu terselip golok. Mereka amat ditakuti penduduk, terutama di setiap warung makan di Pasar Ikan karena mereka tidak pernah membayar makanan yang telah dimakan. Pemilik warung menganggap hanya berderma saja kalau mereka datang.
Saat itu tahun 1916. Pasar Ikan penuh perahu layar yang besar. Sebagian dari perahu-perahu itu masuk sampai dekat jembatan Kota Intan. Ramai sekali. Barang-barang dagangan disimpan di dalam gudang-gudang tidak jauh dari Pasar Pisang. Setelah malam turun, keadaan sepi kembali.
Madun dan Bai kembali dari tugas yang diberikan si Angkri. Wajah mereka lesu. Lemas. Lapar. “Mann?” kata Angkri seperti menagih utang. “Gagal, Bang,” jawab Madun.
Bai juga menjawab dengan nada takut dihukum. Angkri betul-betul tidak bisa mengendalikan diri. Kedua anak buahnya ditampar.
“Bodoh kamu semua! Apa harus saya yang mengerjakan sendiri?”
“Rasanya begitu, Bang Angkri,” kata Madun.
“Tetapi mereka memang sedang tidak lancar, Bang,” Bai memberikan alasan, “biasa, musim barat. Ikan tidak muncul. Nelayan takut ke laut. Pedagang di Pasar Ikan banyak yang menganggur, Bang!’
“Kalian tidak punya taktik. Saya mau coba. Kalau saya berhasil, awas kepala kalian, bisa copot dari leher!”
Pada zaman itu Pasar Ikan jadi wilayah mereka. Penduduk yang rata-rata menjadi nelayan dan pedagang kecil tidak berani melawan Angkri dan kawan-kawannya itu. Angkri tidak hanya memukul, tetapi juga tidak segan-segan menebas dengan golok. Pernah seorang nelayan dibacok lehernya. Untung, tidak sampai mati.
Pengalaman pedagang daging lain lagi. Waktu Angkri datang, dia malah berkacak pinggang. Kontan Angkri merampas pisau daging. Sejak itu apa pun yang diminta Angkri tidak pernah ditolak. Para pedagang menyediakan makanan dan minuman di suatu tempat yang bersih. Begitu Angkri datang, orang-orang di pasar menyambut dia seperti pembesar. Angkri dan dua orang pengawalnya itu tertawa-tawa sambil berbicara sesukanya, tanpa malu-malu. Pada waktu pulang, pedagang daging dan pedagang lainnya memberi bekal, termasuk uang secukupnya. Senanglah Angkri mendapat “uang jago” yang rutin. Cukup dengan atribut golok di pinggang, seragam hitam, dan kumis melintang!
Angkri sering menyuruh Bai dan Madun. Uang dan keperluan lain diberikan para pedagang dan nelayan Pasar Ikan melalui suruhannya itu. Jika mereka gagal, Angkri mencoba sendiri ke sana.
Kebetulan suatu siang Angkri melihat perahu-perahu layar membawa barang dagangan berupa barang pecah belah dan kain-kain sutra yang bagus. Angkri dan kedua kawannya segera merencanakan siasat. Orang lain tidak ada yang tahu. Mereka hanya bisik-bisik. Setelah itu mereka main kartu menunggu larut malam.
Sementara itu, di suatu rumah bambu tinggallah keluarga Pak Ocin. Pak Ocin, seorang laki-laki berjenggot putih, sedang sibuk menghadapi istrinya.
“Sudah, Yah, sudah,” kata istrinya kemudian, “tiap hari ribut perkara sepele. Saya tidak tahu di mana cerutu Ayah disimpan, Kapan Ayah dapat cerutu, beli di mana? Seperti tuan besar saja, Yah!”
“Kamu orang perempuan, Mah, mana tahu perkara orang laki. Meskipun sudah tua, tetapi pergaulan makin begini,” jawab Pak Ocin sambil mengangkat ibu jari, “pelaut-pelaut kawan saya semua. Mereka pasti singgah ke rumah saya. Kamu tidak tahu kemarin Tuan Opsinder memberi hadiah sekotak cerutu. Saya sudah merasakan satu. Tetapi sekarang mana kotak itu, Mah? Jelas kamu tahu. Barang-barang lain boieh hilang, asal jangan cerutu sekotak hadiah tuan besar itu!”
“Mana saya tahu, Yah? Mana saya tahu? Ayah boleh sebut selusin nama-nama pemilik perahu, dua puluh tuan besar, dan lima betas opsinder. Tetapi, saya tetap tidak tahu cerutu Ayah. Coba tanya pada tikus dan kucing kita. Dapat sebatang cerutu saja lagaknya sudah melebihi Belanda.
Mujenah segera muncul dart kamar. “Kenapa ribut-ribut terus, Bu? Apa tidak bisa rukun dengan Ayah?”
“Itulah Ayahmu, Mujenah. Kerjanya menuduh Ibu terus. Ayahmu mengira Ibu ini tikus yang menyembunyikan cerutu. Cerutu bikin mulut besar!”
“Sudah, Bu, sudah. Kasihan Bang Kasun baru pulang jaga. Siang ini harus tidur.”
Ibu Ocin melemparkan pandangannya ke kamar sebeiah. Lalu tersenyum.
“Ya, suamimu baru saja pulang tadi. Begitu kaiau kerja jadi penjaga maram empang kampung Kapal Rusak. Jaga semalaman. Tetapi, Kasun suamimu sudah lebih aiim dan rajin sekarang. Selalu bawa oleh-oleh kalau pulang. Ibu senang punya menantu seperti dia. Asal tidak dengan Angkri.”
Dengar nama Angkri disebut, kontan Pak Ocin menyahut, “Jangan lagi suruh suamimu berteman dengan Angkri, Mujenah. Saya pesan, jangan. Angkri orangnya panjang tangan.”
“Sudah, Yah. Jangan ribut lagi. Siang ini Bang Kasun sedang berbaring. Apa Ayah tidak sayang dengan menantu?”
“Heh, heh, heh,” Pak Ocin terkekeh pelan. Lalu, duduk kembali di balai-balai sambil melinting rokok daun jagung. Setelah rokok itu disulut pakai korek batu api diisapnya pelan-pelan.
“Ini juga tidak kalah!” katanya sambil tersenyum. Ibu Ocin dan anak perempuannya, Mujenah, menatapnya pula dengan senyum.
Tanpa disangka-sangka, Angkri, Madun, dan Bai memasuki rumah Pak Ocin. Seisi rumah, kecuali Kasun yang masih tidur, kaget. Mereka tampak menjinjing beberapa bungkusan dengan wajah mencurigakan.
“Ocin,” hardik Angkri, “saya mau titip barang-barang saya ini. Besok pagi akan saya ambil, langsung berlayar ke Sumatra. Sekarang saya mau cari kapal.”
“Tidak bisa, Kri,” jawab Pak Ocin dengan memberanikan diri.
“Apa kamu bilang?” gertak Angkri. Dua kawannya yang lain mulai jengkel.
“Di sini rumahnya sempit. Kamu tahu sendiri, bukan?”
“Kamu menuduh saya, Ocin? Ini barang saya beli untuk dijual lagi di Sumatra. Kamu kira ini barang curian?”
“Karena barangmu Angkri, saya takut kalau kamu simpan di rumah saya. Kalau dicuri orang siapa yang bertanggung jawab? Kamu bisa menyalahkan saya yang sudah tua ini. Dari mana saya minta ganti, Angkri?”
Soal debat memang Pak Ocin sudah dikenal. Pengalamannya banyak. Orang muda pasti kalah. Apalagi Angkri dan kawan-kawannya yang selalu mengunggulkan diri itu, tidak akan menang. Oleh karena itu, Angkri mulai mencan akal. Dia yakin Pak Ocin sudah curiga sehingga dia mau memaksa. Dia sudah memberi isyarat kepada Madun dan Bai.
Dari percakapan yang lirih akhirnya menjadi keras. Pak Ocin pandai mengutarakan alasan yang masuk akal. Ia mengatakan bahwa dia orang sederhana dengan pendapatan tidak tetap. Jadi, kalau dititipi barang yang mahal, sangat dikhawatirkan kalau hilang tidak akan sanggup mengganti. Jadi, bukannya menolak, tetapi karena barang titipan Angkri terlalu berharga.
Kasun terbangun mendengar ribut-ribut. Keluar dari kamar, dia melihat mertuanya dituding-tuding oleh Madun dan Bai. Kasun merasa tersinggung. Dia menghalangi tubuh Pak Ocin agar tidak dituding.
“Saban, Dun,” kata Kasun, “Bai, jangan. Kalian tentunya ingat saya. Kita teman lama.”
“Jangan menyebut diri teman. Ini bagianmu!” teriak Angkri dari belakang.
Kasun kena tempeleng pelipisnya, tetapi dia kuat. Dia seorang diri menghadapi mereka bertiga. Perkelahian semakin ramai. Pak Ocin tidak bisa berbuat apa-apa. Andaikata membantu menantu, dia bingung bagaimana caranya memukul, pakai gagang tongkat, pakai sapu atau apa? Lagi pula Angkri, Madun, dan Bai orangnya sangat tangkas. Tampak Kasun mulai tersengal-sengal. Kepalanya babak belur.
Mujenah berteriak. Para tetangga sudah tahu siapa yang bikin ribut. Mereka takut. Lebih baik purapura tidak mendengar daripada melongok, apalagi memberi pertolongan, bisa kena bacok. Jadi perkara. Keluarga juga repot. Oleh karena itu, lebih baik tinggal di dalam bilik. Tutup pintu. Aman.
Bu Ocin bingung. Dia berteriak lebih keras. “Bereskan saja nenek itu, Dun,” perintah Angkri, “bisa celaka kita karena teriakannya.”
“Lebih baik si Mujenah yang kita bawa, Bang. Sayang si cantik dibiarkan menjanda. Lihat Kasun sudah roboh.”
“Ah, waktunya tidak ada lagi. Ayo cepat sedikit. Kita langsung ke kapal!”
Kawanan penjahat itu segera meninggalkan rumah Pak Ocin. Mujenah pingsan sebelum diapa-apakan oleh Angkri, Madun, dan Bai.
Dua jam kemudian, Bek Kasan bersama Pak Ocin tampak bergegas. Mereka masuk rumah yang susunan perabotannya sudah berantakan. Ternyata, Kasun hanya luka di kepala kena pukulan kayu. Tengkuknya tergurat golok sedikit dan sudah dibalut Mujenah yang telah sadar dari pingsan. Bu Ocin memberikan air dari kendi agar cepat diminum Kasun. Mulailah mereka ramai membicarakan apa yang baru saja mereka alami.
“Kasun,” kata Bek Kasan yang tidak lain abangnya sendiri, “perkaramu sudah saya catat. Sebentar lagi tertangkap semua. Kamu tak perlu ikut. Saya yang akan mengurus. Beres.”
Kasun hanya diam.
Bek Kasan lalu berkata kepada Mujenah, “Jaga suamimu baik-baik di rumah, Nah. Dia perlu perawatan mu.”
“Ya, Bang Kasan. Terima kasih.”
“Kalau begitu saya pergi dulu,” kata Bek Kasan. Kepada Pak Ocin dia juga permisi.
Tuan opsinder bernama Bloomekomp amat geram melihat pintu gudangnya telah terkuak dirusak orang. Siapa pendobraknya? Tentu penjahat yang sudah tidak asing lagi di Pasar Ikan. Segera dia menghubungi kepala opas. Dia bertanya mengenai banyak hal, terutama siapa yang suka bikin onar akhir-akhir ini.
Segera diketahui, yaitu si Angkri. Kawannya dua orang, sama-sama jahat. Kalau bukan mereka apa ada penjahat lainnya? Tidak ada. Hanya mereka bertiga. Atas penyelidikan yang sederhana, tetapi memusat itu pikiran Bloomekomp langsung pada Angkri. Kebetulan, Pak Ocin sekeluarga juga menyusul ke kantor kepala opas. Tuan Bloomekomp makin memakIumi ekor peristiwanya. Atas kebaikan opsinder pemilik gudang, Opsinder Bloomekomp, Kasun bisa dirawat di rumah sakit terdekat.
Kepala opas, Bek Kasan, dan tiga orang anggota keamanan tidak menyia-nyiakan waktu. Mereka telah mengetahui ke mana biasanya Angkri pergi. Kalau tidak ke Pasar Ikan, pasti ke kampung Kapal Rusak. Akan tetapi, mereka tidak ada di tempat-tempat itu. Mereka mencari keterangan di daerah Pasar Pisang. Akhirnya didapat keterangan bahwa Angkri dan kawan-kawannya sudah di barat Kota Intan, dekat laut menuju ke Kamal.
Kemudian Bek Kasan, kepala opas, dan tiga orang anggotanya mengejar Angkri. Ternyata memang benar. Bungkusan-bungkusan basil curian membuat Angkri dan kawan-kawannya sukar untuk berlari dengan bebas. Angkri memerintahkan Madun dan Bai untuk memencar. Masing-masing harus menyelamatkan diri. Akan tetapi, justru gerakan ini memperlemah mereka. Kepala opas dengan mudah membereskan Madun yang menyerah karena kelelahan, tidak kuasa lagi mengayunkan tangan. Kepala opas langsung memborgol kedua tangannya.
Bai sama juga. Begitu tahu kalau yang dihadapi tiga anggota keamanan yang lengkap dengan pentung dan senapan, Bai berlutut seketika. Kemudian giliran Angkri. Bek Kasan marah dan menantang Angkri berkelahi satu lawan satu. Angkri melayani. Pertarungan seru. Angkri mencabut goloknya. Akan tetapi, sudah didahului tendangan keras dari kaki Bek Kasan. Golok Angkri terpental ke lumpur. Seketika itu Angkri menggunakan jurus-jurus silatnya. Bek Kasan kena sodok perutnya. Jatuh telentang. Begitu Bek Kasan jatuh di tanah, Angkri meloncat dengan kedua lutut di depan. Biar mampus Bek Kasan. Mungkin perutnya bisa ambrol.
Akan tetapi, Bek Kasan sudah memperhitungkan. Dia cepat mengelak ke kanan sehingga kedua lutut Angkri menghunjam ke batu. Setelah itu, Angkri tidak bisa berjalan. Kedua lututnya seperti pecah. Bek Kasan segera memegang kepala Angkri. Rambutnya ditarik, Angkri menyerah. Dia dibawa ke kantor opas di Kota Intan. Atas keputusan hakim, Angkri dianggap sebagai biangnya. Madun dan Bai masuk penjara beberapa tahun, sedangkan Angkri menjalani hukuman gantung.
FITRIA PRATIWI
12110849
2 KA 21
0 komentar:
Posting Komentar