Khusyuk Dalam Shalat
Seorang sahabat mngadu kepada Rasulullah, baahwa kalau mengerjakan shalat tidak dapat khusyuk sepenuhnya. Sering kali ia masih mengingat akan hal – hal lain, termasuk urusan rumah tangga, utang piutang dan sebagainya.
“Tidak ada orang yang dapat sempurna dan khusyuk sepenuhnya dalam mengerjakan shalat dari awal hingga akhir”.
“Saya bisa, ya Rasulullah”, tiba –tiba Ali Bin Abi Thalib menyela.
“Betul?” tanya Rasulullah.
“Benar, Rasulullah”, jawab Ali Bin Abi Thalib dengan yakin.
“Jika memang benar kau dapat sempurna dan khusyuk dari awal hingga akhir, akan kuberikan surbanku yang terbaik sebagai hadiah untukmu,” janji Rasulullah.
Kemudian Ali Bin Abi Thalib mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, terlihat ia mengerjakannya dengan penuh kekhusyukan. Setelah selesai ia ditanya oleh Nabi :
“Bagaimana? Kau bisa mengerjakannya dengan khusyuk dan sempurna?”
“Pada rakaat yang pertama, saya mengerjakannya dengan khusyuk”, jawab Ali dengan muka murung.”Dan pada rakaat yang kedua, ketika sujud yang terkahir saya teteap khusyuk hingga duduk tasyahud. Namun ketika mendekati salam, barulah hati saya berubah, teringat akan janjimu, ya Rasulullah, bahwa engkau akan memberikan hadiah surban terbagus milikmu untuk saya. Maka rusaklah kekhusyukan shalat saya”.
“Hal itu terjadi pula dengan yang lain”, ujar Nabi. “Sebab khusyuk itu diukur oleh Allah sebatas kemampuan manusia. Yang penting ketika pikiranmu terbawa kepada urusan lain cepat – cepat kembalikan kepada shalatmu lagi. Dalam mengerjakan shalat, memang hendaknya seakan – akan kita mampu melihat dan berbicara kepada Allah. Tetapi kalau tidak mampu, asalkan kit aingat bahwa Allah melihat kita, itu sudah memadai”.
Mendengar penuturan Rasulullah, Ali Bin Abi Thalib mengangguk-angguk meskipun masih berusia muda, namun ia memiliki ilmu dan ketaatan yang terpuji. Ali mempunyai keistimewaan khusus, sebagaimana pernah dikatakan Rasulullah, jika beliau diibaratkan gudang, maka Ali Bin Abi Thalib adalah pintu gerbangnya.
Misalnya, Ali Bin Abi Thalib pernah ditanya, berpaakah kecepatan kilat tatkala menyambar. Dengan cepat ia menjawab.
“Tidak lebih cepat dari doa seorang makhluk yang dikabulkan oleh khaliknya”.
Dan ketika ditanya, “Berapa jauhkan jaraknya antara Masyrik dengan Maghrib, atau antara Timur dengan Barat?”
“Tidak lebih jauh dari jarak terbit dan tenggelamnya matahari”, jawab Ali Bin Abi Thalib.
“Kapanlah nikmatnya tidur?” tanya yang lain pula.
“Tak ada nikmatnya,” Ali langsung menjawab. “Sebab bila ku jawab sebelum tidur, bagaimana kita merasakan nikmatnya tidur kalau belum melakukannya atau mengalaminya. Jadi ku jawab setelah bangun dari tidur, bagaimana akan dapat ku gambarkan sesuatu yang sudah lewat? Sedangkan ku jawab saat dalam tidur, bagaimana mugnkin seorang dalam keadaan tidur atau tidak sadar merasakan nikmat atau tidaknya sesuatu? Karena itu janganlah terlalu banyak tidur hingga berlebih – lebihan,sebab hidupmu akan pendek, emski umurmu cukup panjang. Buaknkah orang yang dapat merasakan dirinya hidup adalah saat mereka dalam keadaan sadar? Sednagkan, tidur sama dengan tidak sadar. Jaid bagaimana bisa dikatakan hidup, kalau bukan orang lain yang mengatakannya?”.
Pada kesempatan lain, Rasulullah menyuruh para sahabat membca Alquran sampai khatam. Semua dengan tekun mengerjakannya, hingga beberapa lama. Tapi anehnya Ali Bin Abi Thalib Cuma komat kamit sebentar lalu berhenti dan diam.
Ketika semuanya sudah selesai, Nabi bertanya kepada Ali Bin Abi Thalib :
“Kenapa engkau tidak membaca sampai khatam?”
“Sudah sejak tadi, ya Rasulullah”, jawab Ali.
“Cepat sekali? Rasanya mustahil”, sanggah Nabi.
“Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa kandungan surat Al Ikhlas (kulhu) itu sama dengan sepertiga isi Al-Qur’an?” jawab Ali.
“Benar”, timpa Rasulullah.
“Karena itu cukup membaca surat Al Ikhlas tiga kali, itu sama dengan mengkhatamkan Al – Qur’an”, sambung Ali Bin Abi Thalib.
Rasulullah tersenyum mendengar jawaban Ali Bin Abi Thalib.
Sumber : Kumpulan Dongeng Anak – Anak, MB. Rahimsyah, - Kidh. Hidayat
FITRIA PRATIWI
12110849
2 KA 21
0 komentar:
Posting Komentar